Sampah Kota Serang Tak Tertangani
Masalah sampah tampaknya akan menjadi problem serius perkotaan.
Hampir separuh sampah dari perkotaan belum tertangani dengan baik, setiap
harinya.
Dari sekitar 780,10 meterkubik (M3) volume sampah yang dihasilkan
setiap harinya, hanya 465 M3 yang bisa terangkut ke tempat penampungan akhir
(TPA) di Cilowong, Kecamatan Taktakan.
“Jumlah pengangkutan sampah yang terlayani baru 60 persen. Memang
pengangkutan sampah ini belum optimal sepenuhnya,” terang Hadiri Burhanudin,
Kabid Kebersihan dan Keindahan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Serang, Rabu (7/11).
Hadiri memberi gambaran, volume sampah terbesar dihasilkan dari
pemukiman yang mencapai 658,50 M3 setiap harinya, daerah komersil menghasilkan
85,97 M3, pasar 18,08 M3, fasilitas umum 15,30 M3, dan sapuan jalan 2,25 M3.
Menurut Hadiri, jumlah sampah yang dihasilkan belum sebanding dengan sarana
kebersihan yang dimiliki.
Dikatakan, saat ini pihaknya baru memiliki 29 armada pengangkut,
terdiri atas 21 unit dump truk, 5 unit armada amrol, dan 3 unit truk manual.
Padahal idealnya, kata Hadiri, alat pengangkut sampah ini minimal 38 unit.
Sementara container untuk penampungan sampah saat ini baru ada 38 unit dari
kebutuhan sebanyak 60 unit. “Sistem container ini lebih baik dibandingkan
dengan tempat penampungan sampah (TPS), karena sistem TPS membutuhkan banyak
tempat untuk pemasangannya,” ujarnya.
Selain minimnya sarana, kata Hadiri, masalah klasik dalam
penanganan sampah adalah minimnya kesadaran masyarakat untuk memperlakukan
produk sampahnya dengan baik, misalnya dengan membuang sampah tidak pada tempat
yang telah disediakan. Dikatakan, kesadaran masyarakat untuk turut serta dalam
pembiayaan pengelolaan sampah melalui retribusi kebersihan juga masih sangat
rendah. Ia menyebutkan, retribusi kebersihan untuk tahun 2006 tercatat hanya Rp
198 juta atau baru 1,5 persen dari total biaya operasional kebersihan yang
dianggarkan hingga Rp 13 miliar. Sehingga, imbuhnya, 98,5 persen biaya
operasional kebersihan masih disubsidi pemerintah daerah. “Padahal, pengelolaan
persampahan merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah.
Masyarakat perumahan juga masih banyak yang tidak membayar retribusi
kebersihan. Mereka biasanya hanya membayar jasa angkut sampah dari rumah ke TPS
kepada tukang angkut, sementara retribusi pengangkutan dari TPS ke TPA tidak dibayarkan,” ungkapnya,
seraya menyebutkan biaya retribusi ini sebesar Rp 500/bulan. (qizink)
[SERANG] Limbah cair sampah yang ada di Tempat Pembuangan
Sampah Akhir (TPSA) Cilowong, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, dinyatakan tidak
memunuhi baku mutu.
Hal itu diketahui setelah Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Serang melakukan uji laboratorium pada tanggal 8 Juni 2012 lalu.
“Berdasarkan hasil uji laboratorium yang kami lakukan pada tanggal 8 Juni 2012 lalu, ada unsur-unsur yang parameternya melampaui baku mutu. Kami mengambil dua sampel yakni di Sumur Pantau yang berada di sekitar TPSA dan sampel kedua di Sungai. Dari hasil uji laboratorium diketahui bahwa air Sumur Pantau terdapat beberapa parameter yang melampaui baku mutu yakni, zat kimia yang mengeluarkan bau atau sulfida 0,103 miligram (mg) per liter. Padahal berdasarkan keputusan menteri maksimal sulfida 0,1 mg per liter,” jelas Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Serang Joko Sutrisno, di Serang, Jumat (15/6).
Joko menjelaskan, parameter lainnya yakni amonio bebas 8,8 mg per liter, idealnya maksimal 5 mg per liter, paramter Biological Oxygen Demand (BOD) di TPSA Cilowong mencapai 184,6 mg, seharusnya maksimal 150 mg. Kemudian zat Chemical Oxygen Demand (COD) 420,13 mg, idealnya baku mutunya 300 mg. "Untuk zat crom itu masih memenuhi baku mutu yakni 0,32 mg, baku mutunya maksimal 0,50," ujarnya.
Sedangkan hasil uji laboratorium untuk air di sungai sendiri lebih besar dibandingkan di sumur pantau yakni, parameter sulfida 0,152 mg, amonio bebas 9,18 mg, BOD 297,6 mg , COD 688,05 mg, dan crom 0,46 mg.
"Pencemaran lebih tinggi di sungai karena tidak melalui filter. Sementara pada sumur pantau terdapat di sekitar TPA," kata Joko.
Dia mengungkapkan, hasil uji laboratorium tersebut sudah diserahkan kepada satuan kerja (Satker) Pekerjaan Umum (PU) Banten Bidang Penyehatan Lingkungan dan Permukiman, untuk dilakukan proses pengolahan limbah cair agar sesuai baku mutu yang ditetapkan sebelum dibuang ke sungai. Selain ke satker, pihaknya juga sudah melaporkanya hasil uji laboratorium tersebut kepada wali kota Serang.
"Jadi seharunya limbah cair itu sebelum dibuang harus diolah dulu. Dampaknya jika dibiarkan mencemari lingkungan dan ini berbahaya jika sampai dikonsumsi warga," katanya.
Wakil Ketua komisi IV DPRD Kota Serang, Amanudin Toha mengatakan, Satker harus mengikuti saran dan rekomendasi yang disampaikan BLHD berdasarkan hasil uji laboratorium yang sudah dilakukannya terhadap limbah cair TPSA Cilowong.
"Secara kasat mata, sudah jelas kalau air di TPSA itu tidak memenuhi baku mutu. Karena itu, kami meminta kepada satker untuk membuat sistem pengolahan limbah dengan baik dan benar," tegasnya.
Untuk diketahui, sebelumnya petani di Desa Cilowong, Kecamatan Taktakan mengeluhkan kondisi air irigasi Cilowong yang bau dan hitam pekat akibat limbah TPSA. Bahkan, puluhan hektare padi sawah milik petani di wilayah itu terancam mati akibat tercemar limbah dari TPSA tersebut. [149]
Hal itu diketahui setelah Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Serang melakukan uji laboratorium pada tanggal 8 Juni 2012 lalu.
“Berdasarkan hasil uji laboratorium yang kami lakukan pada tanggal 8 Juni 2012 lalu, ada unsur-unsur yang parameternya melampaui baku mutu. Kami mengambil dua sampel yakni di Sumur Pantau yang berada di sekitar TPSA dan sampel kedua di Sungai. Dari hasil uji laboratorium diketahui bahwa air Sumur Pantau terdapat beberapa parameter yang melampaui baku mutu yakni, zat kimia yang mengeluarkan bau atau sulfida 0,103 miligram (mg) per liter. Padahal berdasarkan keputusan menteri maksimal sulfida 0,1 mg per liter,” jelas Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Serang Joko Sutrisno, di Serang, Jumat (15/6).
Joko menjelaskan, parameter lainnya yakni amonio bebas 8,8 mg per liter, idealnya maksimal 5 mg per liter, paramter Biological Oxygen Demand (BOD) di TPSA Cilowong mencapai 184,6 mg, seharusnya maksimal 150 mg. Kemudian zat Chemical Oxygen Demand (COD) 420,13 mg, idealnya baku mutunya 300 mg. "Untuk zat crom itu masih memenuhi baku mutu yakni 0,32 mg, baku mutunya maksimal 0,50," ujarnya.
Sedangkan hasil uji laboratorium untuk air di sungai sendiri lebih besar dibandingkan di sumur pantau yakni, parameter sulfida 0,152 mg, amonio bebas 9,18 mg, BOD 297,6 mg , COD 688,05 mg, dan crom 0,46 mg.
"Pencemaran lebih tinggi di sungai karena tidak melalui filter. Sementara pada sumur pantau terdapat di sekitar TPA," kata Joko.
Dia mengungkapkan, hasil uji laboratorium tersebut sudah diserahkan kepada satuan kerja (Satker) Pekerjaan Umum (PU) Banten Bidang Penyehatan Lingkungan dan Permukiman, untuk dilakukan proses pengolahan limbah cair agar sesuai baku mutu yang ditetapkan sebelum dibuang ke sungai. Selain ke satker, pihaknya juga sudah melaporkanya hasil uji laboratorium tersebut kepada wali kota Serang.
"Jadi seharunya limbah cair itu sebelum dibuang harus diolah dulu. Dampaknya jika dibiarkan mencemari lingkungan dan ini berbahaya jika sampai dikonsumsi warga," katanya.
Wakil Ketua komisi IV DPRD Kota Serang, Amanudin Toha mengatakan, Satker harus mengikuti saran dan rekomendasi yang disampaikan BLHD berdasarkan hasil uji laboratorium yang sudah dilakukannya terhadap limbah cair TPSA Cilowong.
"Secara kasat mata, sudah jelas kalau air di TPSA itu tidak memenuhi baku mutu. Karena itu, kami meminta kepada satker untuk membuat sistem pengolahan limbah dengan baik dan benar," tegasnya.
Untuk diketahui, sebelumnya petani di Desa Cilowong, Kecamatan Taktakan mengeluhkan kondisi air irigasi Cilowong yang bau dan hitam pekat akibat limbah TPSA. Bahkan, puluhan hektare padi sawah milik petani di wilayah itu terancam mati akibat tercemar limbah dari TPSA tersebut. [149]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar